Menghadap
langit sore dimana ketika matahari menyelam kembali menuju peraduannya, dan awan yang membiaskan cahaya merah yang
membentuk kesyahduan sore ini dengan ditemani sebuah laptop dihadapanku, seolah
ingin membisikkan kata romantis dan mengajak kencan bersama mencari inspirasi
untuk membuat sebuah tulisan. Secangkir kopi sebagai pelembut suasana dan
sebungkus Dji Sam Soe Magnum Filter yang tak kalah syahdu seolah mengejar
kenikmatan sebuah perpaduan rasa yang terkolaborasi sore itu. Sembari saya
menikmati anugerah Tuhan disore ini, sejenak laptop terpusat pada sebuah website Dji Sam SoePotret Mahakarya Indonesia dan mendapatkan sebuah photo yang menjadi ide kali
ini untuk dapat menulis sebuah karya yang akan saya publish di blogger saya.
Ketika
menyimak photo para peserta Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia, mata saya
sentak tertuju pada sebuah photo dari Thomas Kwan yang berjudul "
Pengrajin Wayang Golek " . Photo yang simpel, namun bermakna implisit,
menceritakan pada hasil ukiran Indonesia
yang terlupakan oleh zaman peradaban. Ukiran patung hasil Pemahat Indonesia dan
berjaya di mata dunia namun tidak mendapat tempat di mata masyarakat Indonesia,
mengapa hal ini bisa terjadi ? mengapa fokus masyarakat hanya dapat melihat
milik negara lain tanpa menyadari potensi alam dan sumber daya yang ada di
Indonesia. Kita negara yang memiliki aset yang sangat kaya dan sudah diakui
oleh badan PBB. Budaya, seni, peninggalan-peninggalan sejarah, artefak-artefak,
sumber daya alam, bangunan yang alami maupun hasil Mahakarya tangan
Indonesia,keindahan panoramanya. Kita memiliki semua itu, hanya saja kita
berpura-pura seolah-olah tidak mengetahuinya.
Photo
yang berjudul Pengrajin Wayang Golek ini sekilas mengingatkan pada satu moment memalukan
yang pernah saya alami. Dimana ketika budaya Indonesia diperkenalkan oleh
mancanegara yang berkunjung ke Indonesia didepan khalayak publik di Solo.
Disini saya akan menceritakan moment yang memalukan itu dan ini menjadi
alasan saya untuk semakin melestarikan budaya Indonesia dan memperkenalkannya
ke dunia internasional.
Tepatnya
malam hari di bulan September 2013, saya mendapatkan undangan dinner dari salah seorang dosen saya di perguruan tinggi
Universitas Sebelas Maret (UNS) di Solo. Pada saat itu, langsung yang timbul di
otak saya adalah restoran dengan makanan Eropa dikarenakan beliau lama tinggal
di Eropa ( Hahahaha, maklum otak mahasiswa yang pingin nyicipin makanan Mewah).
Membutuhkan waktu lebih dari sejaman untuk mencari lokasi dinner karena
melewati gang kecil dan jalan berbelok dan juga kebetulan saya orang pendatang
di Solo ini, berasal dari kota Medan, kemudian
merantau ke Solo dengan alasan untuk
menimba ilmu dan memperkaya wawasan.
Setibanya
saya dilokasi, mata saya disuguhkan dengan sebuah gedung kuno peninggalan
belanda ( mungkin sudah berumur 60 tahunan ), cat eksterior nya berwarna hijau
dan putih dengan kombinasi coklat tua pada kayu jati alami, dan interiornya
bertema klasik dengan perpaduan nuansa jawa, sama halnya seperti bangunan
keraton Solo dan dinamakan dengan Angkringan Pendopo. Suasananya pun sangat
hening, sejuk , damai dan agak sedikit mistis. Menurut saya pribadi, suasana
yang terbentuk sangat tradisional toempoe doeloe. Jauh dari ekspektasi saya
diawal .
Namun ada hal yang sangat berbeda disini, furniture nya memang terlihat lebih kaya dengan berbagai ukiran-ukiran serta patung wajah Punakawan dan Petruk yang merupakan tokoh dalam pewayangan Jawa. Kemudian ada ukiran yang dari kayu seperti gasing (permainan yang dapat berputar pada paksinya sambil mengimbang pada satu titik ), Dakon (permainan congklak ) dan pahatan kursi, meja yang antik dan juga piring gelasnya pun diberikan aksen tradisional lain. Sehingga membentuk suasana menjadi klasik,kuno namun elegant.
Suguhan yang sangat berbeda dari apa yang pernah saya alami sebelumnya, dan menurut saya ini pengalaman yang sangat menarik karena dizaman sekarang ini jarang kita menjumpai restoran yang bertemakan angkringan didalam sebuah bangunan kuno. Penyajian makanan nya merupakan kombinasi jajanan-jajanan khas Solo untuk makanan ringannya dan untuk makanan beratnya seperti halnya angkringan yang ada di Solo dan Jogjakarta.
Kebanyakan
pengunjung yang ada diresto angkringan ini adalah bule, mereka datang dari Jerman, Prancis maupun Korea. Saya mencoba sesekali berkomunikasi
dengan mereka dengan bertanya bagaimana pendapat mereka tentang Angkringan
Pendopo ini.
This is very awesome. The theme is traditional so i eat Indonesia food while enjoy typical carvings of Indonesia. I wanna learn how to carve this sculpture. ~ Bug Young
Bug
young mengatakan dia sangat tertarik dengan budaya Indonesia dan ingin sekali
belajar bagaimana caranya mengukir patung-patung yang di pamerkan diresto
angkringan ini. Bug young yang berasal dari Hongkong datang ke Indonesia untuk
belajar bahasa Indonesia. Selanjutnya, dia mengatakan sering menghadiri pasar
triwindu yang merupakan pasar yang khusus disediakan untuk para pemahat dan
pengrajin seni di Solo. Dan dia menjelaskan bahwa Ukiran yang ditampilkan ini merupakan
ukiran tangan dari pengrajin asal Solo yang ada di pasar triwindu (dalam hati :
kenapa dia lebih tau daripada saya). Saya sebagai pemuda lokal merasa malu mendengarkan dia menjelaskan tentang ukiran
Indonesia. Harusnya saya yang menjelaskan nya kepada mereka, namun malah
sebaliknya.
Dengan
kejadian itu, Saya begitu menyadari tentang sebuah culture yang kita miliki,
keberanekaragaman budaya, bahasa, seni dan juga ukiran yang tercipta dari
sebuah leluhur yang menjadi Mahakarya Indonesia. Kita memiliki Sumber Daya
Manusia yang handal, yang mampu mengenalkan pahatan-pahatan Khas Indonesia
dikanca Internasional. Menciptakan ragam pahatan yang menjadi salah satu topik
yang hangat dibicarakan pada acara-acara ukiran Internatioanal. Seharusnya kita
bangga dan mempelajari serta melestarikan budaya kita. Sebagai pemuda, mari
kita membantu pengrajin-pengrajin Indonesia mempromosikan hasil pahatan mereka,
sehingga tidak termakan oleh zaman. Kita negara yang kaya akan potensi bumi
kita, dan Negara lain harus tahu tentang itu.
Ketika orang luar memuji dan ingin belajar kekayaan budaya kita, kebanyakan dari kita malah mengabaikan milik budaya kita sendiri. Ketika negara tetangga mengklaim budaya kita, barulah kita protes dan peduli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar